Terkesima Pandangan Pertama
Menjelang siang,
di suatu hari di penghunjung 2011. Saya sibuk memberi kabar ke orang tua bahwa
saya telah sampai di Aceh. Sambil menunggu calon suami saya datang menjemput,
saya perhatikan sekeliling Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), mencoba membaca
raut wajah orang-orang di sekeliling bandara termasuk para supir yang
menawarkan saya taxi tanpa merek.
Mereka menawari dengan santun, tanpa paksaan. Di keliling saya orang lalu-lalang
menggunakan Bahasa Aceh yang sayangnya saya hanya bisa mengira-ngira.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, calon suami
saya pun tiba. Di tahun tersebut saya datang dengan niatan menjumpai calon
mertua saya. Setelah meninggalkan
bandara dan masuk ke wilayah Kota Banda
Aceh, yang pertama saya perhatikan
sekeliling adalah jalan dan langit. Sepanjang jalan saya lihat Kota Banda Aceh
begitu bersih dan tidak banyak terjadi kemacetan seperti beberapa kota besar
lainnya. Langit pun terlihat bersih dari polusi yang mengganggu, seakan saya
ingin menghirup udara di kota ini dengan penuh khidmat.
Saya saat itu
terkesima akan penataan kota dengan tampilan yang menawan, padahal 26 Desember
2004 telah terjadi bencana tsunami yang
banyak merenggut korban jiwa di kota ini. Namun Kota Banda Aceh menunjukkan
keseriusannya terhadap recovery, tak
terkecuali di bidang lingkungan. Terbukti pada bulan November 2011, Kota Banda
Aceh masuk ke dalam 60 kabupaten/kota di Indonesia yang ditetapkan sebagai
daerah yang masuk dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Acara tersebut termasuk dalam rangkaian peringatan puncak
Hari Tata Ruang 2011.
Pariwisata di Kota Sejuta Cerita
![]() |
Ulee Lheu, dokumentasi pribadi |
Hampir 8 tahun
saya mendiami kota ini, bukan lagi sebagai gadis Pasundan di mana Bogor menjadi
kota kelahiran. Kini saya telah berumah tangga dan mengais rezeki di kota ini,
seorang gadis pasundan pun akhirnya telah resmi memiliki KTP Aceh, setelah
resmi dipinang seorang lelaki Aceh 2012 silam.
Selama hampir 8
tahun tersebut saya pun sesekali menjelajahi pariwisata di kota ini. Bidang pariwisata memiliki daya
tarik tersendiri, apalagi untuk para
pendatang. Kota Banda Aceh memiliki pariwisata lengkap yang dibalut dengan sejarah
masa lampau, religi, dan juga pesona alam.
Pantai Ulee
Lheue contohnya, pantai ini adalah daerah pariwisata yang sekaligus menjadi tempat bersejarah di mana rumah-rumah
penduduk dan sarana ibadah terkena imbas
dari terjangan tsunami. Bahkan sampai sekarang kita masih bisa melihat bukti
sejarah belasan tahun silam di sekeliling tempat ini.
Selain
pariwisata alam, Kota Banda Aceh menawarkan pariwisata religi. Pariwisata yang
sekaligus mengingatkan kita akan kebesaran Allah SWT. Beberapa di antaranya
adalah Masjid Raya Baiturrahman, Masjid Baiturrahim, dan PLTD Apung. Masjid
Raya Baiturrahman sejak dulu berdiri
kokoh di tengah pusat Kota Banda Aceh. Bagi para pelancong belum lengkap rasanya jika datang ke Banda
Aceh tapi tidak singgah di masjid ini. Masjid ini kini berdiri megah dan indah,
walaupun dahulu terkena dampak tsunami. Masjid ini sering disebut mirip dengan
Masjid Nabawi di Madinah karena kini sudah dipercantik dengan payung elektrik
yang telah diresmikan pada 13 Mei 2017 oleh wakil Presiden Republik Indonesia, H.
Yusuf Kalla.
Selain Masjid
Raya Baiturrahman, ada beberapa masjid yang walaupun telah diterjang tsunami
masih kokoh sampai sekarang. Salah satunya adalah Masjid Baiturrahim Ulee Lheue,
yang memiliki sejarah di masa lampau. Masjid ini merupakan masjid peningalan
Sultan Aceh pada Abad ke-17. Tak jauh dari Masjid ini ada PLTD Apung, yang merupakan kapal besar
generator listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Besar kapal ini tak
tanggung-tanggung, luas kapal ini mencapai 1900 meter persegi dengan panjang
kurang lebih 63 meter. Kapal PLTD Apung
ini terdampar di perumahan warga saat terjadi tsunami 2004 silam. Melihat dan
menaiki kapal ini membuat kita merinding membayangkan gelombang tsunami yang
kuat dan juga Keagungan Allah SWT, bagi-Nya tidak ada yang tidak mungkin.
Ruang Terbuka Hijau Kota Banda Aceh
![]() |
Hutan Kota Banda Aceh, dokumentasi pribadi |
Kota Banda Aceh
memperkuat komitmennya di bidang lingkungan salah satunya dengan mendirikan
beberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ruang Terbuka Hijau menurut Purnomohadi
(2002) memiliki beberapa fungsi di antaranya: menetralisir limbah buangan
penduduk, menghasilkan oksigen, menyimpan air tanah, mentransfer air tanah
sehingga dapat mempengaruhi penurunan suhu lingkungan, meredam kebisingan, dan
juga mengurangi kekuatan angin.
Ruang Terbuka
Hijau di Banda Aceh yang sekaligus dijadikan tempat pariwisata adalah Hutan
Kota Tibang. Hutan Kota Tibang disebut juga Hutan Kota BNI, dikarenakan hutan
kota ini dibangun berkat adanya kerjasama Pemerintah Kota Banda Aceh dengan BNI
sebagai pengembangan dari program CSR BNI di bidang BNI Go Green.
Hutan Kota
Tibang membuat masyarakat Banda Aceh,
juga para pendatang betah untuk berlama-lama di tempat ini. Bukan hanya
dikarenakan sejuknya tempat ini semata, tapi sekaligus juga sebagai arena cantik
untuk berswafoto. Di sini juga terdapat arena bermain anak. Saya pun kerap kali
menjelajahi hutan kota ini, selain untuk rekreasi keluarga, hutan kota ini juga
kerap saya jadikan tempat untuk mengenalkan jenis-jenis pepohonan kepada
anak-anak saya. Terutama pepohonan yang jarang ada di Bogor, di kota kelahiran
saya.
Kota Banda Aceh juga
meraih beberapa kali penghargaan
Adipura. Penghargaan Adipura diberikan kepada Kota Banda Aceh sebagai bentuk
pengakuan pemerintah pusat atas keberhasilan Kota Banda Aceh mengelola
kebersihan lingkungan.
Keramahan Warga, Budaya Lokal, dan Lezatnya Kuliner Khas Banda Aceh dalam Kenduri
![]() |
Ayam Tangkap, via anakjajan.com |
Selama tinggal
di Banda Aceh, awalnya saya sempat kaget. Di kota ini, hampir setiap beberapa minggu sekali saya diundang untuk menghadiri kenduri.
Kenduri dalam mayarakat Aceh mencakup beberapa hal di antaranya: sunatan anak, pesta
pernikahan, turun tanah atau aqiqah, penempatan rumah baru, Maulid Nabi dan
lain sebagainya.
Bagi masyarakat Banda Aceh, budaya kenduri menjadi hal yang
biasa dijadikan sebagai ajang silaturahmi. Bagi para pendatang tidak hanya
sekedar itu, kenduri dapat dijadikan sebagai sarana mempelajari keramahan
warga, budaya lokal, serta mengenal kekhasan kuliner kota ini. Seperti yang
saya rasakan.
Keramahan warga
kota terpancar pada senyum dan canda yang dilontarkan saat perjumpaan. Begitu pula
saat kenduri. Orang-orang yang lalu-lalang pada saat kenduri bukan hanya saling berkumpul, tetapi juga
mengedepankan budaya tolong-menolong
agar kenduri berjalan dengan lancar. Bukan juga hanya berkumpul saat penuh suka
seperti layaknya pesta pernikahan, akan tetapi pada acara penuh duka seperti
kematian dan tahlillan juga dilakukan. Warga Banda Aceh saling tolong menolong
membantu sesama. Saya pernah bertanya mengenai ringannya mereka menolong sesama,
ternyata hal ini telah menjadi kebiasaan turun temurun nenek moyang terdahulu.
Jika ada kenduri
artinya ada makan-makan. Di sini kita bisa merasakan berbagai kuliner khas Kota
Banda Aceh. Kuliner tersebut contohnya adalah Ayam
Tangkap, Kuah Beulangong, Timphan, Kue Bhoi dan lain sebagainya.
Ayam Tangkap
adalah ayam goreng yang sebelumnya telah
melalui proses perendaman dengan i u (air
kelapa) dan juga berbagai bumbu khas pilihan. Digoreng dengan daun temurui,
daun salam koja dan juga daun pandan sehingga wangi Ayam Tangkap begitu khas
sekali. Selain Ayam Tangkap, Kuah Beulangong pun menjadi menu yang dapat kita
jumpai pada saat kenduri di Kota Banda Aceh.
Kuah Beulangong
adalah masakan sejenis gulai yang umumnya bahan utamanya dari daging sapi atau
kambing. Uniknya Kuah Beulangong ini dimasak dengan menambahkan nangka, pisang
kepok, kelapa gongseng dan bumbu rempah lainnya. Disebut Kuah Beulangong
dikarenakan masakan ini dimasak dalam belanga (wajan) yang besar. Pembuatan Kuah
Beulangong ini umumnya dilakukan oleh para pria dengan bergotong royong.
Menghargai Keberagaman
Aceh yang
dipercayai juga memiliki singkatan dari Arab, China, Eropa dan Hindia. Memberi keragaman dalam
banyak hal. Kota Banda Aceh pun mendapatkan imbas dari hal tersebut, tempat-tempat
bersejarah masuknya keberagaman budaya dapat dilihat dari beberapa tempat di
Banda Aceh.
Peunayong, adalah
salah satu pemukiman etnis Tionghoa yang
telah ada semenjak masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Sejarah menyebutkan, hubungan Aceh dan China
telah ada pada abad ke-17 Masehi. Peunayong berasal dari kata “Peu Payong” yang berarti memayungi atau melindungi.
Sejarah mengisahkan, dahulu kawasan Peunayong adalah tempat di mana Sultan
menjamu para tamu yang berasal dari China.
Keberagaman pun
bisa kita lihat dalam tempat-tempat beribadah. Di kawasan Peunayong ini
terdapat Vihara Dharma Bhakti. Selain itu ada Vihara
lain yang ada di Kota Banda Aceh yaitu Vihara Buddha Sakyamuni, Maitri, dan
Dewi Samudera. Selain itu juga terdapat Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat
dan juga Gereja Methodist.
Walaupun Aceh
menerapkan syariat islam, bukan berarti masyarakat yang berbeda agama tidak
bisa hidup berdampingan. Di antara bangunan agama tersebut di Jalan Panglima
Polem juga berdiri megah sebuah masjid. Sejarah dan pengakuan para pemuka agama
setempat juga membuktikan bahwa keberagaman dalam memeluk agama masing-masing
tidak membuat masyarakat “bergesekan” dikarenakan beda keyakinan. Warga Kota
Banda Aceh memaknai betul arti dalam sebuah
ayat Al-Qur’an, QS. Al-Kafirun : 6 “Untukmu
agamamu, dan untukku agamaku”.
Saya Banda Aceh, Dahulu Pasundan
Pemaparan di atas
dan waktu mengungkap fakta cukup membuktikan saya yang setelah hampir 8 tahun
lebih tinggal di Kota Banda Aceh ini, memiliki banyak alasan untuk merasa betah
tinggal di kota ini. Kota yang menawarkan sejuta cerita yang dapat saya bagikan
kepada para khalayak ramai terlebih para pendatang. Saya pun mantap berujar : Saya Banda Aceh.
“Tunggu apalagi?
Yok, kita ke Banda Aceh!”
Sekarang sudah jadi Aceh tulen ya kak dan pastinya cinta Banda Aceh.😁
ReplyDeleteSudah Yel, terleih makanan meu-Aceh that that. Pulkam ke Bogor ribut makan keasaninan wakakakak
DeleteACEH = Arab, China, Eropa dan Hindia
ReplyDeleteBukan Asia :D
Thanks masukannya, padahal ini bolak-balik edit. Mungkin imbas begadang dari jam 10 malam sampai jam 5 pagi ada aja yang kelewat hihi. Tapi draft PDFnya udah diserahin ke penyelenggara sih.
DeleteToss! Saya warga jakarta yang betah di Aceh... Sudah lima belas tahun hidup di Aceh, alhamdulillah.. Di Aceh, juga lebih mungkin untuk kita mobile, karena jalan tidak macet.. Itu yg paling saya syukuri dari kondisi di Aceh, selain yang lainnya yang pastinya banyak..
ReplyDeleteIya alhamdulillah-nya Bunda Esti, soal jalanan memang Aceh juarak, makanya yang bikin Jatuh Cinta sama Kota Banda Aceh ya salah satunya minimnya kemacetan. Thanks ya Bun sudah mampir.
DeleteMantap eui.. Semoga menang
ReplyDeleteThanks Hayat, Hayat ikut lomba ini juga kah?
DeleteKak Nia bertransformasi dari warga Pasundan ke warga Kota Banda Aceh. Satu hal yang pasti ditarik adalah dari Kota Banda Aceh adalah perubahan tata kota setelah Gempa dan Tsunami di tahun 2004 serta pembangunan yang sangat gencar. Tulisan di antar menjabarkan banyak hal dari wisata, tata kota hingga kuliner
ReplyDeleteThanks Iqbal. Benar Bal, banyak yang bilang Banda Aceh berbenah banyak setelah tsunami.
Deletehmmm gitu ya...?? :p
ReplyDeletegue jadi inget blewah haha
Delete